Minggu, 01 November 2015

Qahwah Wa Mulukhiyyah


Angin Kairo sudah mulai berhembus kencang, akhir bulan Oktober adalah pergantian musim. Hawa panas sudah tidak lagi terasa, angin yang berasal dari laut kini menerpa tubuh kami bergantian. Sampai saya putuskan untuk memakai jaket ketika keluar rumah. Selepas sholat isya, kami putuskan untuk sekedar jalan-jalan menghirup udara malam di tempat yang biasa kami rasa menjadi tempat paling nyaman untuk sekedar minum kopi dan ngobrol ngalor ngidul hingga larut malam. Jalanan yang kami lewati sudah tidak asing lagi, gang fenomenal yang pernah menjadi cikal bakal peradaban islam di Mesir mampu membelalakan mata siapapun yang berkunjung. Orang-orang menyebutnya dengan julukan “Musium Terbuka”.
Sebut saja nama jalan yang sudah tersohon seantero mesir saat penaklukan Mesir dinisbatkan kepada Khalifah saat itu “Muiz li dinillah”. Karena hampir sepanjang 1 KM yang letaknya persis di jantung kota Kairo lama terpampang peninggalan islam yang begitu menawan dan masih gagah berdiri tegap sampai-sampai mampu mengajak siapapun meniliknya kembali. Namun, pemandangan malam itu terasa berbeda, gang penuh pesona itu rupanya sudah dipadati penduduk mesir. Pemandangan seperti ini juga saya lihat terakhir kali ketika malam bulan puasa. Muda mudi bahkan semua usia tumpah ruah di jalanan Muiz li dinillah hingga malam menjelma menjadi dirinya hingga gelap dan sepi.

Memang sudah lama sekali kami tidak ngopi disana, letaknya persis di depan Masjid Hakim bi amrillah. Milik seorang khalifah Syi’ah Fatimiyyah yang konon memiliki keperibadian yang nyeleneh. Para sejarahwan menuliskan bahwasanya kholifah Hakim li dinillah adalah keturunan dinasti sekte syi’ah yang berada di tunisa saat itu. Namun saat di beri mandat menjadi Khalifah untuk megatur dinastinya dan daerah kekuasaannya salah satunya Mesir, Hakim bi amrillah yang usianya tergolong masih seumur jagung melontarkan kebijakan-kebijakan yang tidak masuk akal. Contohnya seperti larangan terhadap masyarakat Mesir untuk mengkonsumsi makanan bernama Mulukhiyyah (dedaunan yang di tumbuk halus dan dimasak seperti sup). Larangan tersebut berlandasan karena Mulukhiyyah juga di konsumsi penduduk Baghdad yang merupakan rival abadi dinasti Fatimiyyah saat itu. Juga kebijakan untuk setiap penduduk harus memakai atribut keagamaannya. Seperti umat kristiani diharuskan memakai kalung salib di lehernya juga agama-agama lain. Karena faham yang di anut sang khalifah adalah faham syiah, saat itu penduduk mesir yang beragama islam harus memaki-maki 3 khalifah, Abu Bakar, Umar, Utsman ketika membuka pintu saat memasuki rumah dan harus memuja-muji khalifah Ali Ibn Ai Thalib. Juga kebijakan yang tidak bisa di maafkan oleh umat Kristiani adalah penghancuran gereja al-Qiyamah/ gereja makam qudus yang berada di Palestina. dimana yesus di salib di sana dan dijadikan tempat paling suci umat kristiani. Sejarahwan menyebutkan jika khalifah hakim bi amrillah menghancurkan gereja paling suci umat kristiani, sama saja seperti orang kristiani menghancurkan Ka’bah milik umat islam yang menjadi tempat paling suci di atas muka bumi.

Malam semakin pekat, angin genit jalanan muiz lidinillah menampar-nampar pipi kami. Dan lebih ekstrim lagi saat paras nonik-nonik mesir juga menapar mata yang tak sengaja sekedar memandangi mereka ketika melenggok-lenggok sambil bercanda dengan teman dan keluarganya. Entahlah, sembari meneguk kupi pahit racikan Hani si penjaga kedai kopi, nonik-nonik yang berseliweran di depanku adalah wanita paling cantik saat itu.

1 komentar:

  1. Sedapp.. Tulisanya begitu mengalir, seperti aliran Molokhiyah yang dicampur dengan firakh mashwi. Lanjutkan Pujangga ��☕��

    BalasHapus