Kamis, 29 Oktober 2015

Masjid Ibnu Tulun, Memori Pembakaran kota Qatha'i


Memori peralihan kekuasaan pasti masih menoreh luka di hati para penduduk Arab, pada tahun 750 M dinasti Umayyah rela menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Abbul Abbas as-Saffah yang menjadi dalang utama peralihan dinasti dari Umayyah ke Abbasiyyah, yang berhasil memindahkan Ibu kota paling tersohor dari Hijaz ke kota Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Keluarga bani Abbas di abad ke-7 mampu membentangkan kekuasaan mulai dari ujung wilayah Maghrib (Marroco) hingga ke ujung wilayah pesisir laut mediterania, asia tengah.

Sorak sorai penduduk Baghdad berhamburan tak terbendung, kota kebanggaannya dijadikan sebagai pusat perkembangan Islam yang nantinya akan dicatat sejarah sebagai pusat keilmuan, perpolitikan dan pusat peradaban. Kekhalifahan ini berkembang sangat pesat, sebuah dinasti yang dikelola sangat apik yang menampung siapapun yang berpotensi dalam setiap bidang, orang-orang Persia, Turki, begitu juga Negara-Negara Asia Tengah dicomot, supaya ikut andil di tubuh pemerintah Baghdad. Sebagai bukti atas kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan yang diraih dinasti Abasiyyah, adalah kebebasan menerjemahkan buku-buku dan manuskrip-manuskrip dari berbagai bahasa. Persia, Yunani dan manuskrip kebudayaan milik India juga dilibas oleh para penerjemah. Pemerintah memberi upah para penerjemah dengan sangat mahal, berbagai buku hasil terjemah dan karya fenomenal milik para ulama dikaji dan dicetak lalu disusun rapih di perpustakaan Banghdad.

Gebrakan keilmuan yang diusung oleh sang khalifah menularkan hal positif bagi para pegiat ilmu. Puja dan puji yang dilontarkan para penyair di istana khalifah berujung pada puncak sastra yang begitu luar biasa, sajak dan dongeng dihidangkan sebagai penghibur khalifah, kesusastraan menjadi pacuan dan persaingan ketat antar penyair agar mendapat upah sepadan dengan syair-syairnya yang mampu menggelitik telinga sang khalifah dan mampu merubah raut wajahnya dari senyuman menjadi ratapan kesedihan tatkala syair terlontar dari lisan para penyair. Sastra dan kepenulisan menjadi media utama di Baghdad dan sangat dirasakan oleh penduduk sekitar.

Tidak sebatas itu, Abbasiyyah terus bergerak dalam bidang kesenian yang disadur dari aneka polesan arsitektur dan budaya, yaitu seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni ukir yang berhasil dipadukan dan menjadi bangunan megah bercorak Mesopotamia (bangunan yang dibuat dari tanah). Salah satu peninggalan Abbasiyah yang masih utuh hingga saat ini yaitu masjid Samara dan masjid Ibn Tulun.

Baghdad benar-benar mengguncangkan dunia. peradaban raksasa yang dibangun menawarkan jutaan decak kagum yang tidak bisa terhapuskan, segala prasarana dibuat demi memajukan umat Islam saat itu, tak ayal jika Baghdad disebut sebagai negri 1001 malam, atau islilah lain menyebutnya sebagai “The Golden Age”. Karena Abbasiyah memimpin dunia sejak 750 M-1258 M. Namun di ujung masa keemasannya, Baghdad sedikit demi sedikit rapuh, bahkan sulit menjaga ke stabilan pemerintahan. Dan tidak dapat dipungkiri, di negara-negara sekitar Baghdad, bermunculan dinasti-dinasti kecil, sekitar wilayah kekuasaan milik Abbasiyah. seperti dinasti Fatimiyyah di Tunis, dinasti Saljuk di Turki, Aghlabiyyah di Afrika Utara dan dinasti Tuluniyyah di Mesir.

Kota Qatha’i, Senandung Dinasti Tuluniyyah di Mesir
Bakbak al-Turki nama seorang amir ini tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan panjang peradaban Islam di Mesir, beliau adalah keturunan Turki yang ditugaskan menjadi gubernur Mesir saat mesir dimasa abbasiyyah. Namun karirnya hanya sebatas menjadi gubernur dan tidak begitu berpengaruh dikalangan penduduk Mesir. Pada tahun 868 M Ahmad ibn Tulun, Panglima militer milik dinasti Abbasiyah yang karirnya terus melejit datang menuju Mesir menggantikan Bakbak.

Pada awalnya Mesir tidak langsung diserahkan kepada Ahmad Ibn Tulun kala Bakbak lengser dari jabatannya. berbarengan dengan wafatnya khalifah al-Mu’tamad, lalu Mesir diserahkan kepada mertua Ahmad Ibn tulun, Yarjuz. dan pada akhirya daerah kekuasaan Yarjuz meliputi Mesir dan Syam diserahkan kepada panglima muda Ahmad Ibn Tulun.

Ahmad Ibn Tulun, sang panglima muda keturunan Turki bertekad menjadikan Fustat seperti Samara, kota penting yang berada dibagian Iraq sana. Setelah resmi menjadi gubernur, Ibn Tulun belum merasa puas dengan kekuasaan yang dia miliki, pajak masih disetorkan ke pusat pemerintahan Baghdad. setiap tahunnnya orang-orang istana Tulun harus rela membetot harta milik negara, hasil jeri payah masyarakat setempat harus segera dikirimkan kepada amir bagian perpajakan, Ahmad Ibn Mudabbar.

Diujung masa kekuasaan dinasti Abbasiyyah, terdapat banyak kemelut dari berbagai arah, berbagai masalah juga timbul dari dalam dan luar istana. para amir yang mulai menikmati kemewahan dan seenaknya membelanjakan keuangan negara. Sampai menjadi kebiasaan yang di anggap wajar jika masyarakat mendengar para amir yang meraup harta kekuasaan yang tak terkira. Sedikit demi sedikit tubuh dinasti mulai rapuh, para pemegang amanat negara sudah lupa dengan panji yang pernah diusung oleh para pendahulunya, kekuasaan Abbasiyah berujung pada kekacauan antara sang khalifah dan para amir.

Ahmad Ibn Tulun, namanya mulai terkenal seantero Mesir saat kebijakan menolak membayar upeti setiap tahunn ke Baghdad, masyarakat Mesir menyetujui dan siap menjadikan Mesir sebagai pemerintah yang independen. Surat penolakan pajak dikirimkan kepada amir bagian perpajakan di Baghdad. segelontor harta milik penduduk Mesir sengaja disodorkan dan menjadi uang tutup mulut dengan nilai yang amat menggiurkan berjumlah 1,2 juta dinar. Sekaligus sebagai pembayaran pajak terakhir kalinya. Siasat ini sangat manjur dan berhasil pecundangi amir perpajakan.

Setelah Mesir lepas dan menjadi daerah independen, Ahmad Ibn Tulun perlahan tidak lagi menjuluki dirinya sebagai gubernur, tetapi menjuluki dirinya sebagai pemegang wilayah utuh Mesir. Kurang lebih 38 tahun Mesir berhenti mengirim pajak ke pusat dinasti Abasiyah, wajah Ibn Tulun diukir pada uang logam yang dicetak. Bahkan dia mulai membangun negara dari awal, membangun pertahanan militer hingga berbagai macam urusan kenegaraan. Dan Ahmad Ibn Tulun tercatat sebagai pendiri dinasti Islam pertama di Mesir.

Kabar deklarasi Ahmad Ibn Tulun menjadi khalifah yang mendirikan dinasti yang di sematkan kepada namanya yaitu dinasti Tuluniyyah. kabar tersebut terdengar sampai ke khalifah al-Mu’tamad. Al Muwaffaq adalah saudara khalifah yang ikut andil dalam kekuasaan istana, sejak awal sudah menunjukan rasa ketidak setujuannya terhadap dinasti yang dia bangun. Seketika itu langsung menggagas pencopotan kekuasaan terhadap Mesir. Namun usaha yang dilakukan gagal sehingga Sang khalifah al-Mu’tamad tidak menggubris usaha keras saudaranya atas pencopotan kekuasaan Ibn Tulun.

Roda perpolitikan terus bergulir, kabar kematian gubernur Syam terdengar ke telinga istana, Ibn Tulun memanfaatkan kesempatan itu agar bisa terus memperluas wilayahnya. Namun sesampainya di Syam, Ibn Tulun dipaksa menghadap mimbar para amir Syam untuk membantu urusan dalam negri Selama setahun lebih, Ibn Tulun melaksanakan misinya di Syam tetapi keadaan Mesir saat itu memaksanya untuk kembali ke dinastinya yang baru dia bangun untuk segera merampungkan revolusi orang-orang Abbasiyah di Mesir dan kembali ke Syam agar misinya berjalan mulus. Mesir dititipkan kepada putra mahkotanya yang bernama Khamarawiyyah.

Seraya merampungkan misi kekuasaan yang belum juga selesai, di tengah-tengah misinya Ibn Tulun menyempatkan untuk berbalas surat kepada sang khalifah al-Mu’tamad. Melaporkan keadaan negara yang sedang Dia usahakan agar kekuasaan beralih menuju dinasti Tuluniyyah. Lagi-lagi saudara al-Mu’tamad belum menyurutkan api dendam yang di pendam bertahun-tahun lamanya. kali ini al-Muwaffaq menggagas idenya agar bisa mencopot Ibn Tulun dari Mesir, saudara sang khalifah memerintahkan seorag amir bagian mentri perhubungan agar memaksa khalifah dinasti Tulun untuk kembali ke kota Samara. Kota kedua setelah Baghdad.

Di mimbar perpolitikan negara, perseturuan antara Ibn Tulun dan al-Muwaffaq menjadi buah bibir setiap amir dan menjadi topik hangat penduduk Baghdad. perseteruan serius antara keduanya. Ibn tulun mengirimi penduduk mesir sepucuk surat pedoman yang berisikan penghianatan al-Muwaffaq terhadap saudaranya al-Mu’tamad sebagai khalifah Abbasiyah atas kebijakan dan persetujuan atas mesir beserta penduduknya. Surat pedoman itu juga dikirim kepada penduduk Damaskus meliputi Fuqaha, para Qadhi dan orang-orang berpengaruh damaskus yang dikumpulkan di sebuah majlis untuk diperdengarkan bersama sebagai bentuk permintaan dukungan kekuatan untuk Mesir. Dan Juga menggembor-gemborkan di atas mimbar Damaskus atas penghianatan al-Muqaffaq terhadap saudaranya al-Mu’tamad atas kebijakannya.

Usia Ibn Tulun sudah mulai menua, penyakit yang amat serius membuatnya terbujur kaku hingga wafat pada tahun 884 M. Kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya Khamarawiyyah. Setelah tampuk kekuasaan bealih, putra mahkota mengumpulkan seluruh pasukan dinasti tuluniyyah dan mendeklarkan dirinya menjadi seorang khalifah atas sepeninggal ayahnya seraya Abbasiyah menyetujui kepemimpinan baru dinasti yang di wariskan kepada putra mahkota.

Al-Muaffaq, Saudara sang khalifah al-Mu’tamad yang pernah berseteru dengan Ibn Tulun, usahanya yang dulu gagal mencomot kembali kekuasaan Abbasiyah tidak berhenti begitu saja, setelah tahta kekuasaan jatuh ke putranya Khamarawiyyah justru dijadikan kesempatan membalaskan dendam lamanya. Dengan alasan yaitu ayahnya tidak mewariskan serta tidak memberitahu kekuasaan yang dimilikinya selama menjabat kekuasaan tertinggi di dinasti Tuluniyyah. Juga Khamarawiyyah tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui batas wilayah kekuasaan tersebut. Sebagai argumen memukul mundur alasan yang dilontarkan Khamaraiyyah. Kedua belah pihak terus mengobarkan ambisinya, kabar tersebut sudah menyulut berbagai komentar dari penduduk Baghdad dan Mesir. Usaha al-Muwaffaq lagi-lagi dipatahkan, sebelum Ibn Tulun meninggal, amir bagian perhubungan bernama Ishaq Ibn Kandaj melaksanakan perjanjian terhadap kekuasaan Mesir sebelum ibn tulun wafat. Bahkan, perjanjian ibn kandaj sudah jauh-jauh hari dilakukan dengan Muhammad Ibn Abi Sajj penguasa armenia terhadap kekuasaan milik ibn tulun yang akan di wariskan kepada putra mahkotanya Khamarawiyyah.

tanah syam yang tandus menjadi saksi bisu bertempuran antara pasukan Tuluniyyah dan Abbasiyyah, ditahun 885 M peperangan antar saudara berkecamuk. setelah mengumpulkn pasukan dan merancang strategi, tentara Khamarawiyyah bertolak menuju Syam dengan power kekuatan pasukan yang besar, Ahmad Ibn Abdullah Ibn Muhammad al-Wasity ditunjuk menjadi komandan perang tertinggi yang akan mengatur siasat peperangan. Dikubu sana, pasukan Abbasiyah dipimpin oleh al-Muwaffaq yang juga mengerahkan pasukannya demi mengembalikan kekuasaan Tuluniyyah ke tangan Abbasiyyah. kekuatan tentara Abbasiyyah tidak bisa dibendung, al-Muwaffaq dan pasukannya mampu memukul mundur al-Wasity dan pasukannya pulang menuju mesir. Tentara Tuluniyyah terpaksa pulang dengan kekalahan.

Kemenagan mengusir tentara Tuluniyyah darimedan perang, kemudian al-Muwaffaq mengerahkan pasukannya bertolak menuju Mesir. Setelah sampai di kota Qatha’i, prasarana masyarakat dihancurkan, merampas apaun yang terlihat, sampai binatang ternak digondol oleh ribuan pasukan Abbasi, hanya masjid yang dibiarkan berdiri utuh. Mengobrak-abrik kota mencari Khamarawiyyah dan membawanya ke Baghdad untuk melakukan perjanjian. Pawai kemenangan dilanjutkan ke kota Samara, kota penting kedua setelah Baghdad. Perjanjian damai yang ditawarkan khalifah al-Mu’tamad antara kedua belah pihak menghasilkan jaminan aman atas keturunan Tuluniyyah dan penduduk Mesir selama 30 tahun.

Al-Muwaffaq yang menjadi dalang utama pertikaian antara dua kubu karena merasa dirinya menjadi orang penting ditubuh pemerintahan juga karena kedekatan saudara terhadap khalifah al-Mu’tamad. Al-Muwaffaq sedikit demi sedikit merampok hak kekuasaan milik sang khaifah dan mencoba mengambil alih kekuasaan dengan berbagai cara, namun usahanya selalu gagal dilakukan hingga sang khalifah al-Mu’tamad wafat. Dan terus mencoba menguasai pemerintahan setelah Abbasiyah diserahkan kepada khalifah al-Mu’tadhid dengan cara menghasut sang khalifah yang baru saja naik tahta.

Keturunan Tulun yang masih dibiarkan berkuasa 30 tahun di Mesir kembali dirongrong kekuatan baru al-Muwaffaq di Baghdad, namun siasat yang di lancarkan tidak dengan cara perang. namun dengan cara halus yaitu dengan melakukan pemberian hadiah agar dinasti Tuluniyyah merasa dihormati dan diperhatikan pemerintah. setelah ada kedekatan yang sangat erat, Khamarawiyyah yang berstatus sebagai khalifah dinasti Tuluniyyah diberikan jubah kehormatan beserta mahkota dan sebilah pedang berharga. Khamarawiyyah juga di berikan sebuah tempat terpenting di Abbasiyyah jika bersedia menikahi seorang putri bernama Qatrunada.

Kesibukan mengurus pemerintahan Baghdad menjadikan Khamarawiyyah lupa terhadap tugas utamanya di Mesir sebagai khalifah, dinasti Tuluniyyah yang susah payah di bangun oleh pendahulunya sedikit demi sedikit di biarkan begitu saja, pertahnan militer dan berbagai lembaga kemasyarakatan di tubuh dinasti Tuluniyyah berjalan apa adanya. Selang beberapa tahun kabar wafatnya Khamarawiyyah pemimpin dinasti Tuluniyyah terdengar di telinga penduuk Mesir pada tahun 905 M. putra mahkota generasi ketiga yaitu Harun Ibn Khamarawiyyah menggantikan ayahnya yang wafat di Damaskus ketika bertugas.

Pembakaran kota Qathai, ramalan Ibn Tulun dan runtuhnya dinasti Tuluniyyah
Kekuasaan khalifah Abbasiyyah saat itu sudah beralih ke tangan khalifah baru al-Muktafi, putra al-Mu’tadhid. Yang mempunyai kebijakan mengembalikan Mesir ke wilayah dinasti Abbasiyyah. kabar tersebut sudah sampai ke Mesir dan menjadi pergunjingan panas. Khalifah al-Muktafi mempercayakan misi tersebut kepada jendral Muhammad Ibn Sulaiman al-Katib. Kabar tersebut menyulutkan api kemarahan penduduk Mesir untuk bertolak menuju Tunis mempertahankan kebebasan yang sudah disepakati beberapa tahun yang lalu. Untuk kedua kalinya, beremunya dua tentara perang antara Tuluniyyah dan Abbasiyyah kembali terjadi. Tunisia dipilih menjadi medan perang yang dicatat sejarah, Kedua kubu sama-sama bertolak menuju medan peperangan, tentara Tuluniyyah di bombardir habis-habisan. Tidak sanggup membendung amukan tentara Abbasiyah yang terus merongrong. setelah kekalahan perang tersebut, Mesir resmi jatuh ketangan Abbasiyah dan kekuasaan kembali ke pusat pemerintahan di Baghdad.

Tahun 905 M Mesir jatuh ke tangan Abbasiyah, tentara Muhammad Ibn Sulaiman al-katib menuju fustat dan kembali menjajahi penduduk dengan serangan penunggang kuda. Ketakutan besar mengancam penduduk Mesir. kebebasan dan kekuasaan sudah di ambil paksa kembali ke pemerintahan pusat, 30 orang keturunan tulun di boyong menuju baghdad hingga tak tersisa, lisan penduduk Mesir dipaksa untuk mengakui khalifah al-Muktafi sebagai penguasa mereka. Dan saat itu Mesir hanya di jadikan sebagai kawasan jajahan setelah puluhan tahun memisahkan diri.

Kota Qatha’i yang terkenal dengan replika kota Samara di Irak sana dikepung habis-habisan, ketakutan yang melanda kota itu merenggut tangis dan air mata penduduk. Mesir kehilangan khalifahnya yang sudah puluhan tahun di agung-agungkan. Sulaiman al-Katib yang baru saja menaklukan mesir dihadang di kota tersebut. Sisa pasukan yang berada di perbatasan kota kembali menghadang pasukan Abbasiyyah. perlawanan terakhir justru membuat malapetaka baru. Khalifah al-Muktafi memerintahkan pasukan untuk membakar kota Qhatha’i hingga hangus. Rumah penduduk dan berbagai sarana dilahap api yang berkobar dahsyat. Yang terisa hanya masjid Ibn Tulun yang sudah dirancang agar tidak terbakar jika kobaran api melanda kota. Hal itu diramalkan Ibn Tulun ketika pertama kali membangun masjid di tengah kota, hal itu dilakukan karena melihat kota Samara yang rentah kebakaran dari jerami kering di musim panas yang sering menyulut api dan membakar tempat sekitar.

Masjid Ibn Tulun, replika kemegahan masjid Samara
Setelah menggenggam Mesir, langah awal yang dilakukan Ibn Tulun adalah mengumpulkan harta untuk membangun masjid megah ditengah kota Qatha’i. Setelah merampungkan pembangunan istana di kawasan Jabal Muqattam. Tatanan kota yang sengaja diatur seperti kota idamannya di Samara terwujud, bahkan nama ibu kota diganti dari Fustat menjadi Qatha’i sebagai awal mula pembangunan yang membumikan peradabannya selama berkuasa di Mesir.

Nama Qhatha’i dipilih dengan alasan pemetakan kota yang dibagi menjadi beberapa bagian, menata sarana dan jalanan umum yang mengitari kota menjadi bagian-bagian khusus. Seperti perumahan, pasar dan pendidikan.

Sang arsitektur ulung bernama Said Ibn Katib al-Farghani dipercayai menjadi pengatur tatanan kota Qhatha’i yang sudah berhasil memboyong arsitektur kota samar menuju Qatha’i. Sang arsitek yang beragama masehi dikala itu dijebloskan ke penjara karena dianggap sebagai penjagal kuda sang Khalifah Ibn Tulun. Selama mendekam dipenjara, al-Farghani dihukum dan dicamuk sadis.

Kabar megaproyek pembanguan masjid megah terdengar dibawah gelapnya jeruji besi. Al-Farghani mengirimkan surat kesanggupannya membangun masjid megah di tengah kota, sang Khalifah yang menginginkan 300 tiang penyangga didalam masjid tersebut mustahil dilakukan kecuali mengambil tiang-tiang di kuil peninggalan mesir kuno. Al-Farghani menawarkan kesangupannya yatu hanya membuat dua tiang raksasa penyangga mihrob. Ibn Tulun langsung memanggilnya untuk menggambarkan sketsa arsitektur tersebut. selain itu ibn tulun menginginkan agar masjid megahnya dibangun megah dan tahan jika kobaran api dan tidak hancur saat banjir datang melanda kota.

Tidak ada bukti yang jelas kapan masjid ini mulai dibangun, namun terdapat tulisan tahun selesainya pembangunan pada tahun 879 M. Para ahli sejarah mengira-ngira pembangunan masjid megah ini selama 3 tahun.

Masjid berbentuk persegi yang luasnya mencapai 162,6 X 161,5 menjadikan nuansa kemegahan dirasakan jika sedang mengamati lamat-lamat jengkal arsitekturnya. Terdapan sohn maksyuf (pelataran masjid) yang dikelilingi oleh lengkung Iwan disetiap sudutnya, tiang-tiang raksasa membentuk sebuah pintu yang ujungnya melengkung menawarkan kepada melancong agar kembali bersenandung kota Samara Irak sana.

Jumlah pintu masjid ini lumayan banyak, satu pintu utama mewakili 42 pintu yang mengitari masjid. 21 diantaranya adalah pintu asli dan sisanya hanya tambahan sebagai penghias saja.ornamen yang disuguhkan al-Farghani mampu membelalakan mata. Berada di dalam masjid ibn tulun seperti menyelami peradaban lama, seperti menelusuri setiap jengkal kota Samara. Tidak ketinggalan hiasan yang di ukir rapih bertulisan kaligrafi kuffiq yang menempel di lengkung seriap mihrob luarnya, ornamen-ornamen menariklainnya terpampang di empat sisi tembok masjid dengan corak yang bermacam-macam. Sekelilig tembok terdapat 129 jendela.

Di arah kiblat terdapat 5 kiblat. Satu kiblat utama dan sisanya sebagai pelengkap. Menurut para sejarahwan, banayknya mihrob menunjukan keanekaragaman penganut madzhab yang berada di mesir, sama seperti di masjid umawi disana terdapan dua mihrab yang bermakna masyarakat sana menganut madzhab hanafi dan hambali.

Adapun mihrab utamanya yang dibangun oleh sultan mansur lajin. Mihrab ini penuh dengan hiasan dan ornamen ukiran kalighrafi yang menawan, setiap hiasan yang dimunculkan diukir dengan detail dan indah. Arsiteektur yang di pajang berabad-abad lalu masih menuaikan nuansa kuno di abad lama. Bagian menarik yang jarang ditemukan di mesir adalah menara yang memunculkan ornamen masjid abbasiyyah di samara, konon arsitektur ini terilhami dari ujung gulungan kertas yang berusaha ditirukan menjadi sebuah menara kota samara.

Al-Maqrizi menyebutkan bahwa di atas menara ada tempat khusus yang digunakan untuk menampung biji-bijian dan makanan burung.

Sumber;
Suad Maher Mohammad, masajid Misr, al-Majlis a’la lisyu’un al-Islamiyyah
Mohammad Jalal al-Din surur, al-Daulah al-Fatimiyyah fi masr, dar al-Fikr al-Arabi
Mohammad Khadari Bek, ad-Daulah al-Abbasiyyah, Moassasah al-Mokhtar
Abdurrahman Zaki, Al Qahiroh, Tarikhuha wa Atsaruha, Ad-Darul Misriyyah
Wikipedia.org

0 komentar:

Posting Komentar